HARI ‘ASYURA (10 MUHARRAM) ANTARA SUNNAH DAN BID’AH
Assalamu'alaikum Warahmatullaahi Wabarakatuh
Semoga Netters Syiar al-Sofwa senantiasa dalam lindungan Allah Ta'ala
HARI 'ASYURA (10 MUHARRAM) ANTARA SUNNAH DAN BID'AH
Sejarah dan Keutamaan Puasa Asyura'
Sesungguhnya hari 'syura (tanggal 10 Muharam) meski merupakan hari
bersejarah, dan diagungkan, namun orang tidak boleh berbuat bid'ah padanya.
Adapun yang dituntunkan syari'at kepada kita pada hari ini hanyalah
berpuasa, dengan dijaga jangan sampai bertasyabuh dengan orang Yahudi.
أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ يَوْمُ عَاشُوْرَاءَ تَصُوْمُهُ قُرَيْشٌ فِي اْلجَاهِلِيَّةِ وَكَانَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُوْمُهُ فَلَمَّا قَدِمَ اْلمَدِيْنَةَ صَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ
"Orang-orang Quraisy biasa berpuasa pada hari 'asyura' di maha jahiliyah,
Rasulullah SAW pun melakukannya pada masa masa jahiliah. Tatkala beliau
tiba di Madinah beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan (umatnya)
untuk berpuasa." (HR. Bukhari)
"Nabi SAW tiba di Madinah, kemudian beliau melihat orang-orang Yahudi
berpuasa pada hari 'asyura'. Beliau bertanya, "Apa ini?" Mereka menjawab:
"Sebuah hari yang baik, ini adalah hari dimana Allah menyelamatkan Bani
Israil dari musuh mereka, maka Musa berpuasa pada hari itu sebagai wujud
syukur". Maka beliau SAW bersabda, "Aku lebih berhak terhadap Musa daripada
kalian (Yahudi), maka hari itu, Nabipun berpuasa dan mendorong umatnya
untuk berpuasa." (HR. Bukhari)
Dua hadist ini menunjukkan bahwa suku Quraisy berpuasa pada hari Asyura di
masa jahiliyah, dan sebelum hijrahpun Nabi SAW telah melakukannya. Kemudian
sewaktu tiba di Madinah, beliau menemukan orang-orang Yahudi berpuasa pada
hari itu, maka Nabipun berpuasa dan mendorong umatnya untuk berpuasa.
"Ia adalah hari mendaratnya kapal Nabi Nuh di atas gunung "Judi" lalu Nuh
berpuasa pada hari itu sebagai wujud syukur." (HRS. Bukhari)
Abu Musa berkata, "Asyura adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan
mereka menjadikannya sebagai hari raya, maka Rasulullah bersabda, "Puasalah
kalian pada hari itu." (HSR. Bukhari)
Rasulullah SAW ditanya tentang puasa di hari 'Asyura', maka beliau
menjawab, "Puasa itu bisa menghapuskan (dosa-dosa kecil) pada tahun
kemarin." (HSR. Muslim).
Cara Berpuasa Di Hari Asyura'
A. Berpuasa selama tiga hari tanggal 9, 10 dan 11 Muharram.
Berdasarkan hadits Ibnu Abbas RA yang diriwayatkan yang diriwayatkan oleh
Imam Ahmad dengan lafazh sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim
dalam al Huda dan al-Majd Ibnu Taimiyah dalam al-Muntaqa 2/2, "Selisihilah
orang Yahudi dan berpuasalah sehari sebelum dan sehari setelahnya."
Dan pada riwayat ath-Thahawi menurut penuturan pengarang al-Urf asy-Syadzi,
"Puasalah pada hari Asyura dan berpuasalah sehari sebelum atau sesudahnya
dan janganlah kalian menyerupai orang Yahudi."
Namun didalam sanadnya ada rawi yang diperbincangkan. Ibnul Qayyim berkata
(Zaadul Ma'ad 2/76), "Ini adalah derajat yang paling sempurna". Syeikh
Abdul Haq ad-Dahlawi mengatakan" "Inilah yang paling utama."
Ibnu Hajar di dalam Fathul Baari 4/246 juga mengisyaratkan keutamaan cara
ini. Dan termasuk yang memiliki pendapat puasa tiga hari tersebut (9, 10,
11 Muharram) adalah asy-Syaukani (Nailul Authar 4/245) dan Syeikh Muhammad
Yusuf al-Banury dalam Ma'arifus Sunan 5/434.
Namun mayoritas ulama' yang memilih cara seperti ini adalah dimaksudkan
untuk lebih hati-hati . Ibnul Qudamah di dalam al-Mughni 3/174 menukil
pendapat Imam Ahmad yang memilih cara seperti ini (selama tiga hari) pada
saat timbul kerancuan dalam menentukan awal bulan.
B. Berpuasa pada tanggal 9 dan 10
Mayoritas hadits menunjukkan cara ini:
Rasulullah SAW berpuasa pada hari Asyura' dan memerintahkan berpuasa. Para
shahabat berkata: "Ya Rasulullah, sesungguhnya hari itu diagungkan oleh
orang Yahudi". Maka beliau SAW bersabda, "Di tahun depan Insya allah kita
akan berpuasa pada tanggal 9", tetapi sebelum datang tahun depan Rasulullah
SAW telah wafat." (HR. Muslim)
Dalam riwayat lain, "Jika aku masih (hidup) pada tahun depan sungguh aku
akan puasa pada hari kesembilan." (HR. Muslim)
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata (Fathul Baari 4/245): "Keinginan beliau untuk
berpuasa pada tanggal sembilan mengandung kemungkinan bahwa beliau tidak
hanya berpuasa pada tanggal sembilan saja, namun juga ditambahkan pada hari
kesepuluh. Kemungkinan untuk hati-hati dan mungkin juga untuk menyelisihi
orang Yahudi dan Nashara, kemungkinan kedua inilah yang lebih kuat, yang
itu ditunjukkan oleh sebagian riwayat Muslim".
Dari 'Atha', dia mendengar Ibnu Abbas berkata: "Selisihlah Yahudi,
berpuasalah pada tanggal sembilan dan sepuluh". (Abdurrazaq 4/287)
C. Berpuasa dua hari yaitu tanggal sembilan dan sepuluh atau sepuluh dan
sebelas.
"Berpuasalah pada hari 'Asyura dan selisihilah orang Yahudi, puasalah
sehari sebelumnya atau sehari setelahnya." (Hadist Dhaif Riwayat Ahmad).
Hadits marfu' ini tidak shahih karena tiga illat (cacat):
-Ibnu Abi Laila, lemah, karena hafalannya buruk.
-Dawud bin Ali bin Abdullah bin Abbas, bukan hujjah
-Perawi sanad hadits tersebut secara mauquf lebih tsiqah dan lebih hafal
daripada perawi jalan sanad marfu'
Jadi hadits di atas shahih secara mauquf sebagaimana dalam as-Sunan
al-Matsurah karya as-Syafi'I no. 335 dan Ibnu Jarir ath-Thabari dalam
Tahzibul Atsar 1/218.
Ibnu Rajab berkata (Lathaiful Ma'arif, hal: 49): "Dalam sebagian riwayat
disebutkan "atau sesudahnya" maka kata "atau:" disini mungkin merupakan
keraguan dari perawi atau memang menunjukkan kebolehan …".
Al-Hafidz berkata (Fathul Baari 4/245-246): "Dan ini adalah akhir perkara
Rasulullah SAW, dahulu beliau SAW suka menyocoki Ahli Kitab dalam hal yang
tidak ada perintah, lebih-lebih bila hal itu menyelisihi orang-orang
musyrik. Maka setelah Fathu Makkah dan Islam menjadi termasyhur, beliau
suka menyelisihi Ahli Kitab sebagaimana dalam hadits shahih. Maka ini
(masalah puasa Asyura') termasuk dalam hal itu. Maka pertama kali beliau
mencocoki Ahli kitab dan berkata: "Kami lebih berhak atas Musa dari pada
kalian (Yahudi)", kemudian beliau menyukai menyelisihi Ahli kitab, maka
beliau menambahi sehari sebelum atau sesudahnya untuk menyelisihi Ahli
kitab.
Ar-Rafi'i berkata (at-Talhish al-Habir 2/213): "Berdasarkan ini, seandainya
tidak berpuasa pada tanggal sembilan maka dianjurkan untuk berpuasa pada
tanggal sebelas".
D. Berpuasa pada tanggal sepuluh saja
Al-Hafidz berkata (Fathul Bari 4/246): "Puasa Asyura mempunyai tiga
tingkatan, yang terendah berpuasa sehari saja, tingkatan di atasnya
ditambah puasa tanggal sembilan dan tingkatan berikutnya ditambah puasa
sembilan dan sebelas. Wallahu a'lam.
Bid'ah-Bid'ah Di Hari Asyura
1. Shalat dan dzikir-dzikir khusus, shalat ini disebut dengan sholat
Asyura.
2. Mandi, bercelak, memakai minyak rambut dan mewarnai kuku (menyemir
rambut)."
3. Membuat makanan khusus/istimewa, yang tidak seperti biasanya (seperti
membuat bubur syura yang terdapat di daerah Sumatera Barat).
4. Membakar kemenyan.
5. Bersusah-susah dalam kehausan dan menampakkan kesusahan.
6. Do'a awal dan akhir tahun yang dibaca pada malam akhir tahun dan awal
tahun (sebagaimana termaktub dalam Majmu' Syarif).
7. Menentukan berinfaq dan memberi makan orang-orang miskin.
8. Memberikan uang belanja yang lebih kepada keluarga.
As-Subki berkata (Ad-Din al-Khalish 8/417): "Adapun pernyataan sebagian
orang menganjurkan setelah mandi hari ini 10 Muharram untuk ziarah kepada
orang 'alim, menengok orang sakit, mengusap kepala anak yatim, memotong
kuku, membaca al-Fathihah seribu kali dan bersilaturrahim maka tidak ada
dalil yang menunjukkan keutamaan amal-amal itu dikerjakan pada hari itu.
Yang benar amalan-amalan ini diperintahkan oleh syari'at di setiap saat,
adapun mengkhususkan di hari ini (10 Muharram) maka hukumnya bid'ah".
Ibnu Rajab berkata (Lathaiful Ma'arif hal. 53): "Hadits anjuran memberikan
uang belanja lebih dari hari-hari biasa, diriwayatkan dari banyak jalan
namun tidak ada satupun yang shahih. Di antara ulama' yang mengatakan
demikian adalah Muhammad bin Abdullah bin al-Hakam. Al-Uqaili berkata:
"(Hadits itu) tidak dikenal". Adapun mengadakan ma'tam (kumpulan orang
dalam kesusahan, semacam haul) sebagaimana dilakukan oleh Rafidhah dalam
rangka mengenang kematian Husain bin Ali RA maka itu adalah perbuatan
orang-orang tersesat di dunia sedangkan ia menyangka telah berbuat
kebaikan. Allah dan RasulNya tidak pernah memerintahkan mengadakan ma'tam
pada hari lahir atau wafat para nabi maka bagaimanakah dengan manusia/orang
selain mereka."
Pada saat menerangkan kaidah-kaidah untuk mengenal hadits palsu, al-Hafidz
Ibnu Qayyim (al-Manar al-Munif hal. 113 secara ringkas) berkata:
"Hadits-hadits tentang bercelak pada hari Asyura', berhias,
bersenang-senang/berpesta, dan sholat di hari ini dan fadhilah-fadhilah
lain tidak ada satupun yang shahih, tidak satupun keterangan yang kuat dari
Nabi SAW selain hadits-hadits puasa. Adapun selainya adalah bathil seperti:
"Barangsiapa memberi kelonggaran pada keluarganya pada hari Asyura, niscaya
Allah akan memberikan kelonggaran kepadanya sepanjang tahun."
Imam Ahmad berkata: "Hadits ini tidak sah/bathil." Adapun hadits-hadits
bercelak, memakai minyak rambut dan memakai wangi-wangian, itu dibuat-buat
oleh para tukang dusta. Kemudian golongan lain membalas dengan menjadikan
hari Asyura sebagai hari kesedihan dan kesusahan. Dua golongan ini adalah
ahli bid'ah yang menyimpang dari as-Sunnah. Sedangkan Ahlu Sunnah
melaksanakan puasa pada hari itu yang diperintahkan Rasul SAW dan menjauhi
bid'ah-bid'ah yang diperintahkan oleh syaithan.
Adapun Sholat Asyura maka haditsnya bathil. As-Suyuthi dalam al-Laili 2/29
berkata: "Maudlu' (hadits palsu)". Ucapan beliau ini dinukil Asy-Syaukani
dalam al-Fawaid al-Majmu'ah hal. 47. Hal senada juga diucapkan ileh
Al-'Iraqi dalam Tanzihus Syari'ah 2/89 dan Ibnul Jauzi dalam al-Maudlu'ah
2/122.
Ibnu Rajab berkata (Latha'iful Ma'arif): "Setiap riwayat yang menerangkan
keutamaan bercelak, berpacar/kiteks dan mandi pada hari Asyura adalah
maudlu' (palsu) tidak shah. Contohnya hadits yang dikatakan dari Abu
Hurairah SAW
"Barangsiapa mandi dan bersuci pada hari Asyura maka tidak akan sakit di
tahun itu kecuali sakit yang menyebabkan kematian."
Hadits ini adalah buatan para pembunuh Husain."
Adapun hadits:
"Barangsiapa bercelak dengan batu ismid di hari Asyura maka matanya tidak
akan pernah sakit selamanya."
Maka Ulama' seperti Ibnu Rajab, az-Zarkasyi dan as-Sakhawi menilainya
sebagai hadits maudlu' (palsu).
Hadits ini diriwayatkan Ibnul Jauzi dalam Maudlu'at 2/204, Baihaqi dalam
Syu'abul Iman 7/379, dan Fadhalil Auqat no. 246 dan al-Hakim sebagaimana
dinukil as-Suyuthi dalam al-Lali 2/111. Al-Hakim berkata: "Bercelak di hari
Asyura tidak ada satupun atsar/hadits dari Nabi SAW Dan hal ini adalah
bid'ah yang dibuat oleh para pembunuh Husain.
Demikianlah sedikit pembahasan tentang hari 'Asyura. Semoga kita bisa
mengamalkan sunnah tentang hari 'Asyura ini dan meninggalkan
bid'ah-bid'ahnya. Amin-Red. Wallahu waliyyat-Taufiq.
(sumber: majalah as-Sunnah, edisi 03/V/1421=2001, dengan sedikit perubahan)
source: http://www.alsofwah.or.id/
Semoga Netters Syiar al-Sofwa senantiasa dalam lindungan Allah Ta'ala
HARI 'ASYURA (10 MUHARRAM) ANTARA SUNNAH DAN BID'AH
Sejarah dan Keutamaan Puasa Asyura'
Sesungguhnya hari 'syura (tanggal 10 Muharam) meski merupakan hari
bersejarah, dan diagungkan, namun orang tidak boleh berbuat bid'ah padanya.
Adapun yang dituntunkan syari'at kepada kita pada hari ini hanyalah
berpuasa, dengan dijaga jangan sampai bertasyabuh dengan orang Yahudi.
أَنَّ عَائِشَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا قَالَتْ: كَانَ يَوْمُ عَاشُوْرَاءَ تَصُوْمُهُ قُرَيْشٌ فِي اْلجَاهِلِيَّةِ وَكَانَ
رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُوْمُهُ فَلَمَّا قَدِمَ اْلمَدِيْنَةَ صَامَهُ وَأَمَرَ بِصِيَامِهِ
"Orang-orang Quraisy biasa berpuasa pada hari 'asyura' di maha jahiliyah,
Rasulullah SAW pun melakukannya pada masa masa jahiliah. Tatkala beliau
tiba di Madinah beliau berpuasa pada hari itu dan memerintahkan (umatnya)
untuk berpuasa." (HR. Bukhari)
"Nabi SAW tiba di Madinah, kemudian beliau melihat orang-orang Yahudi
berpuasa pada hari 'asyura'. Beliau bertanya, "Apa ini?" Mereka menjawab:
"Sebuah hari yang baik, ini adalah hari dimana Allah menyelamatkan Bani
Israil dari musuh mereka, maka Musa berpuasa pada hari itu sebagai wujud
syukur". Maka beliau SAW bersabda, "Aku lebih berhak terhadap Musa daripada
kalian (Yahudi), maka hari itu, Nabipun berpuasa dan mendorong umatnya
untuk berpuasa." (HR. Bukhari)
Dua hadist ini menunjukkan bahwa suku Quraisy berpuasa pada hari Asyura di
masa jahiliyah, dan sebelum hijrahpun Nabi SAW telah melakukannya. Kemudian
sewaktu tiba di Madinah, beliau menemukan orang-orang Yahudi berpuasa pada
hari itu, maka Nabipun berpuasa dan mendorong umatnya untuk berpuasa.
"Ia adalah hari mendaratnya kapal Nabi Nuh di atas gunung "Judi" lalu Nuh
berpuasa pada hari itu sebagai wujud syukur." (HRS. Bukhari)
Abu Musa berkata, "Asyura adalah hari yang diagungkan oleh orang Yahudi dan
mereka menjadikannya sebagai hari raya, maka Rasulullah bersabda, "Puasalah
kalian pada hari itu." (HSR. Bukhari)
Rasulullah SAW ditanya tentang puasa di hari 'Asyura', maka beliau
menjawab, "Puasa itu bisa menghapuskan (dosa-dosa kecil) pada tahun
kemarin." (HSR. Muslim).
Cara Berpuasa Di Hari Asyura'
A. Berpuasa selama tiga hari tanggal 9, 10 dan 11 Muharram.
Berdasarkan hadits Ibnu Abbas RA yang diriwayatkan yang diriwayatkan oleh
Imam Ahmad dengan lafazh sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnul Qayyim
dalam al Huda dan al-Majd Ibnu Taimiyah dalam al-Muntaqa 2/2, "Selisihilah
orang Yahudi dan berpuasalah sehari sebelum dan sehari setelahnya."
Dan pada riwayat ath-Thahawi menurut penuturan pengarang al-Urf asy-Syadzi,
"Puasalah pada hari Asyura dan berpuasalah sehari sebelum atau sesudahnya
dan janganlah kalian menyerupai orang Yahudi."
Namun didalam sanadnya ada rawi yang diperbincangkan. Ibnul Qayyim berkata
(Zaadul Ma'ad 2/76), "Ini adalah derajat yang paling sempurna". Syeikh
Abdul Haq ad-Dahlawi mengatakan" "Inilah yang paling utama."
Ibnu Hajar di dalam Fathul Baari 4/246 juga mengisyaratkan keutamaan cara
ini. Dan termasuk yang memiliki pendapat puasa tiga hari tersebut (9, 10,
11 Muharram) adalah asy-Syaukani (Nailul Authar 4/245) dan Syeikh Muhammad
Yusuf al-Banury dalam Ma'arifus Sunan 5/434.
Namun mayoritas ulama' yang memilih cara seperti ini adalah dimaksudkan
untuk lebih hati-hati . Ibnul Qudamah di dalam al-Mughni 3/174 menukil
pendapat Imam Ahmad yang memilih cara seperti ini (selama tiga hari) pada
saat timbul kerancuan dalam menentukan awal bulan.
B. Berpuasa pada tanggal 9 dan 10
Mayoritas hadits menunjukkan cara ini:
Rasulullah SAW berpuasa pada hari Asyura' dan memerintahkan berpuasa. Para
shahabat berkata: "Ya Rasulullah, sesungguhnya hari itu diagungkan oleh
orang Yahudi". Maka beliau SAW bersabda, "Di tahun depan Insya allah kita
akan berpuasa pada tanggal 9", tetapi sebelum datang tahun depan Rasulullah
SAW telah wafat." (HR. Muslim)
Dalam riwayat lain, "Jika aku masih (hidup) pada tahun depan sungguh aku
akan puasa pada hari kesembilan." (HR. Muslim)
Al-Hafidz Ibnu Hajar berkata (Fathul Baari 4/245): "Keinginan beliau untuk
berpuasa pada tanggal sembilan mengandung kemungkinan bahwa beliau tidak
hanya berpuasa pada tanggal sembilan saja, namun juga ditambahkan pada hari
kesepuluh. Kemungkinan untuk hati-hati dan mungkin juga untuk menyelisihi
orang Yahudi dan Nashara, kemungkinan kedua inilah yang lebih kuat, yang
itu ditunjukkan oleh sebagian riwayat Muslim".
Dari 'Atha', dia mendengar Ibnu Abbas berkata: "Selisihlah Yahudi,
berpuasalah pada tanggal sembilan dan sepuluh". (Abdurrazaq 4/287)
C. Berpuasa dua hari yaitu tanggal sembilan dan sepuluh atau sepuluh dan
sebelas.
"Berpuasalah pada hari 'Asyura dan selisihilah orang Yahudi, puasalah
sehari sebelumnya atau sehari setelahnya." (Hadist Dhaif Riwayat Ahmad).
Hadits marfu' ini tidak shahih karena tiga illat (cacat):
-Ibnu Abi Laila, lemah, karena hafalannya buruk.
-Dawud bin Ali bin Abdullah bin Abbas, bukan hujjah
-Perawi sanad hadits tersebut secara mauquf lebih tsiqah dan lebih hafal
daripada perawi jalan sanad marfu'
Jadi hadits di atas shahih secara mauquf sebagaimana dalam as-Sunan
al-Matsurah karya as-Syafi'I no. 335 dan Ibnu Jarir ath-Thabari dalam
Tahzibul Atsar 1/218.
Ibnu Rajab berkata (Lathaiful Ma'arif, hal: 49): "Dalam sebagian riwayat
disebutkan "atau sesudahnya" maka kata "atau:" disini mungkin merupakan
keraguan dari perawi atau memang menunjukkan kebolehan …".
Al-Hafidz berkata (Fathul Baari 4/245-246): "Dan ini adalah akhir perkara
Rasulullah SAW, dahulu beliau SAW suka menyocoki Ahli Kitab dalam hal yang
tidak ada perintah, lebih-lebih bila hal itu menyelisihi orang-orang
musyrik. Maka setelah Fathu Makkah dan Islam menjadi termasyhur, beliau
suka menyelisihi Ahli Kitab sebagaimana dalam hadits shahih. Maka ini
(masalah puasa Asyura') termasuk dalam hal itu. Maka pertama kali beliau
mencocoki Ahli kitab dan berkata: "Kami lebih berhak atas Musa dari pada
kalian (Yahudi)", kemudian beliau menyukai menyelisihi Ahli kitab, maka
beliau menambahi sehari sebelum atau sesudahnya untuk menyelisihi Ahli
kitab.
Ar-Rafi'i berkata (at-Talhish al-Habir 2/213): "Berdasarkan ini, seandainya
tidak berpuasa pada tanggal sembilan maka dianjurkan untuk berpuasa pada
tanggal sebelas".
D. Berpuasa pada tanggal sepuluh saja
Al-Hafidz berkata (Fathul Bari 4/246): "Puasa Asyura mempunyai tiga
tingkatan, yang terendah berpuasa sehari saja, tingkatan di atasnya
ditambah puasa tanggal sembilan dan tingkatan berikutnya ditambah puasa
sembilan dan sebelas. Wallahu a'lam.
Bid'ah-Bid'ah Di Hari Asyura
1. Shalat dan dzikir-dzikir khusus, shalat ini disebut dengan sholat
Asyura.
2. Mandi, bercelak, memakai minyak rambut dan mewarnai kuku (menyemir
rambut)."
3. Membuat makanan khusus/istimewa, yang tidak seperti biasanya (seperti
membuat bubur syura yang terdapat di daerah Sumatera Barat).
4. Membakar kemenyan.
5. Bersusah-susah dalam kehausan dan menampakkan kesusahan.
6. Do'a awal dan akhir tahun yang dibaca pada malam akhir tahun dan awal
tahun (sebagaimana termaktub dalam Majmu' Syarif).
7. Menentukan berinfaq dan memberi makan orang-orang miskin.
8. Memberikan uang belanja yang lebih kepada keluarga.
As-Subki berkata (Ad-Din al-Khalish 8/417): "Adapun pernyataan sebagian
orang menganjurkan setelah mandi hari ini 10 Muharram untuk ziarah kepada
orang 'alim, menengok orang sakit, mengusap kepala anak yatim, memotong
kuku, membaca al-Fathihah seribu kali dan bersilaturrahim maka tidak ada
dalil yang menunjukkan keutamaan amal-amal itu dikerjakan pada hari itu.
Yang benar amalan-amalan ini diperintahkan oleh syari'at di setiap saat,
adapun mengkhususkan di hari ini (10 Muharram) maka hukumnya bid'ah".
Ibnu Rajab berkata (Lathaiful Ma'arif hal. 53): "Hadits anjuran memberikan
uang belanja lebih dari hari-hari biasa, diriwayatkan dari banyak jalan
namun tidak ada satupun yang shahih. Di antara ulama' yang mengatakan
demikian adalah Muhammad bin Abdullah bin al-Hakam. Al-Uqaili berkata:
"(Hadits itu) tidak dikenal". Adapun mengadakan ma'tam (kumpulan orang
dalam kesusahan, semacam haul) sebagaimana dilakukan oleh Rafidhah dalam
rangka mengenang kematian Husain bin Ali RA maka itu adalah perbuatan
orang-orang tersesat di dunia sedangkan ia menyangka telah berbuat
kebaikan. Allah dan RasulNya tidak pernah memerintahkan mengadakan ma'tam
pada hari lahir atau wafat para nabi maka bagaimanakah dengan manusia/orang
selain mereka."
Pada saat menerangkan kaidah-kaidah untuk mengenal hadits palsu, al-Hafidz
Ibnu Qayyim (al-Manar al-Munif hal. 113 secara ringkas) berkata:
"Hadits-hadits tentang bercelak pada hari Asyura', berhias,
bersenang-senang/berpesta, dan sholat di hari ini dan fadhilah-fadhilah
lain tidak ada satupun yang shahih, tidak satupun keterangan yang kuat dari
Nabi SAW selain hadits-hadits puasa. Adapun selainya adalah bathil seperti:
"Barangsiapa memberi kelonggaran pada keluarganya pada hari Asyura, niscaya
Allah akan memberikan kelonggaran kepadanya sepanjang tahun."
Imam Ahmad berkata: "Hadits ini tidak sah/bathil." Adapun hadits-hadits
bercelak, memakai minyak rambut dan memakai wangi-wangian, itu dibuat-buat
oleh para tukang dusta. Kemudian golongan lain membalas dengan menjadikan
hari Asyura sebagai hari kesedihan dan kesusahan. Dua golongan ini adalah
ahli bid'ah yang menyimpang dari as-Sunnah. Sedangkan Ahlu Sunnah
melaksanakan puasa pada hari itu yang diperintahkan Rasul SAW dan menjauhi
bid'ah-bid'ah yang diperintahkan oleh syaithan.
Adapun Sholat Asyura maka haditsnya bathil. As-Suyuthi dalam al-Laili 2/29
berkata: "Maudlu' (hadits palsu)". Ucapan beliau ini dinukil Asy-Syaukani
dalam al-Fawaid al-Majmu'ah hal. 47. Hal senada juga diucapkan ileh
Al-'Iraqi dalam Tanzihus Syari'ah 2/89 dan Ibnul Jauzi dalam al-Maudlu'ah
2/122.
Ibnu Rajab berkata (Latha'iful Ma'arif): "Setiap riwayat yang menerangkan
keutamaan bercelak, berpacar/kiteks dan mandi pada hari Asyura adalah
maudlu' (palsu) tidak shah. Contohnya hadits yang dikatakan dari Abu
Hurairah SAW
"Barangsiapa mandi dan bersuci pada hari Asyura maka tidak akan sakit di
tahun itu kecuali sakit yang menyebabkan kematian."
Hadits ini adalah buatan para pembunuh Husain."
Adapun hadits:
"Barangsiapa bercelak dengan batu ismid di hari Asyura maka matanya tidak
akan pernah sakit selamanya."
Maka Ulama' seperti Ibnu Rajab, az-Zarkasyi dan as-Sakhawi menilainya
sebagai hadits maudlu' (palsu).
Hadits ini diriwayatkan Ibnul Jauzi dalam Maudlu'at 2/204, Baihaqi dalam
Syu'abul Iman 7/379, dan Fadhalil Auqat no. 246 dan al-Hakim sebagaimana
dinukil as-Suyuthi dalam al-Lali 2/111. Al-Hakim berkata: "Bercelak di hari
Asyura tidak ada satupun atsar/hadits dari Nabi SAW Dan hal ini adalah
bid'ah yang dibuat oleh para pembunuh Husain.
Demikianlah sedikit pembahasan tentang hari 'Asyura. Semoga kita bisa
mengamalkan sunnah tentang hari 'Asyura ini dan meninggalkan
bid'ah-bid'ahnya. Amin-Red. Wallahu waliyyat-Taufiq.
(sumber: majalah as-Sunnah, edisi 03/V/1421=2001, dengan sedikit perubahan)
source: http://www.alsofwah.or.id/
Waassalamu'alaikum warahmatullaahi wabarakatuh
<< Home