Mengingat Mati
Mengingat Mati
Satu hal yang harus senantiasa diingat oleh setiap diri adalah ‘kematianE
Allah telah menjadikan kematian sebagai satu perkara yang harus melekat dalam
hati seorang Mukmin. Hakikat hidup adalah menanti kematian, bukan
menghindarkannya. Allah SWT. telah menjelaskan fakta ini lewat firman-Nya,
‘‘Setiap jiwa merasakan kematian, kemudian kepada Kami kalian akan
dikembalikan.’’ (Qs. Al-‘Ankabût [29]: 57).
Kematian itu ibarat gelas, setiap orang pasti akan merasakannya. Atau,
kematian itu laksana pintu, setiap orang akan memasukinya. Kematian adalah
syarat bertemu dengan Allah. Oleh sebab itu, seorang Muslim sejati tidak pernah
menganggap kematian sebagai kematian. Ia hanya transit: dari dunia menuju
akhirat. Dari kematian sementara menuju kehidupan hakiki: kampung akhirat. Ia
hanya merupakan titik akhir dari perjalanan seorang manusia di dunia.
Bagi orang-orang kafir, kematian ‘tidak pernah adaE karena menurut mereka
dunia ini lah segalanya. Mereka bahkan membantah adanya hari ‘kebangkitanE
Allah menjelaskan sikap ingkar mereka ini, ‘‘Dan tentu mereka akan mengatakan:
‘‘Hidup hanyalah kehidupan kita di dunia saja, dan sekali-kali kita tidak akan
dibangkitkan.’’ (Qs. Al-An‘âm [6]: 29). Lebih tegas Allah menjelaskan, ‘‘Dan
seandainya kalian melihat ketika mereka dihadapkan kepada Tuhannya (tentu kalian
melihat peristiwa yang mengharukan). Berfirman Allah: ‘‘Bukankah kebangkitan ini
benar?’’ Mereka menjawab: ‘‘Sungguh benar, demi Tuhan kami.’’ Allah berfirman:
‘‘Karena itu rasakanlah azab ini, disebabkan kalian mengingkari (nya).’’ (Qs.
Al-An‘âm [6]: 31). Tapi tidak bagi seorang Mukmin. Mereka benar-benar yakin
dengan adanya kebangkitan. Dan kebangkitan itu pasti terjadi dan diawali dengan
kematian. Orang yang mengingkari kebangkitan adalah orang-orang yang sangat
merugi, karena benar adanya. ‘‘Sungguh telah
merugilah orang-orang yang mendustakan pertemuan mereka dengan Tuhan; sehingga
apabila kiamat datang kepada mereka dengan tiba-tiba, mereka berkata: ‘‘Alangkah
besarnya penyesalan kami, terhadap kelalaian kami tentang kiamat itu!’’ sambil
mereka memikul dosa-dosa di atas pungung mereka. Ingatlah, amatlah buruk apa
yang mereka pikul itu.’’ (Qs. Al-An‘âm [6]: 31).
Maut adalah pemutus segalanya. Ia disebut oleh Kanjeng Nabi SAW. sebagai hâdim
al-ladzdzât, pemutus segala bentuk kenikmatan. Orang yang mati tidak lagi bisa
merasakan nikmatnya teh manis di pagi hari, atau kopi di malam hari. Ia juga
tidak bisa merasakan bagaimana nikmatnya berkumpul dengan istri dan anak-anak;
dengan orangtua dan tetangga. Atau, dia tidak bisa lagi menikmati keindahan dan
panorama alam yang telah didesain oleh Allah sedemikian indahnya. Semuanya putus
oleh ‘‘maut’’.
Orang yang berakal adalah yang mengerti kewajibannya di dunia ini. Ia tidak
akan lama. Hanya ‘Mampir NgombeE kata orang Jawa. Ia laksana musafir yang
berteduh di sebuah pohon yang rindang bernama dunia, setelah itu ia akan
meninggalkannya. Tempatnya yang hakiki bukan di sini, tapi di ‘kampung akhiratE
Kewajiban orang yang berakal, kata Ibnu al-Jauzy, adalah yang mempersiapkan
diri untuk kematiannya. ‘‘Al-Wâjib ‘alEal-‘âqil akdzu al-‘uddah lirahû‰ihE
’’ujar beliau. Karena, menurut beliau, ia tidak tahu kapan kematian dari
Tuhannya datang, dan tidak tahu kapan akan dipanggil? Saya melihat kebanyakan
manusia telah tertipu oleh masa muda. Mereka lupa bahwa mereka akan meninggalkan
teman-temannya dan dilalaikan oleh panjang angan-angan (thûl al-’amal). Mungkin
seorang alim yang mukhlis akan berkata kepada dirinya: ‘‘Sibukkan dirimu dengan
menuntut ilmu sekarang, kemudian beramallah dengan ilmu itu esok hari. Lalu ia
berleha-leha dengan alasan ‘sedang rehatE dan mengakhirkan persiapan untuk
taubat. Dia tidak menghindarkan perbuatan gibah atau mendengarnya. Barangsiapa
yang melakukan subhat (keraguan) dan berharap dapat menghapusnya dengan
perbuatan waraE dia telah lupa bahwa maut datang dengan tiba-tiba. Orang yang
berakal adalah yang memberikan hak setiap kesempatan
yang ada. Jika maut menemuinya dengan tiba-tiba, ia telah bersiap-siap dan jika
dia telah memperolah apa yang diangan-angankanya, maka bertambah kebaikannya,’’
demikian catat ‘Allâmah Ibnu al-Jauzyi dalam Shayd al-Khâthir-nya.
Bisa jadi kita termasuk orang yang berakal, sebagaimana yang digambarkan oleh
Ibnu al-Jauzy. Tetapi, bisa saja sebaliknya: kita adalah orang yang bodoh, tidak
tahu kewajiban untuk menyambut maut ketika datang menjelang. Dunia hanyalah
‘sendau gurauE tidak lebih. Tapi, sendau gurau ini ternyata banyak membuat kita
‘puyengEdan tidak berdaya untuk melepaskan diri dari cengkraman dan jeratnya.
Padahal, Allah telah menjelaskan dengan gamblang, ‘‘Dan tiadalah kehidupan dunia
ini, selain dari main-main dan sendau gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat
itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kalian
memikirkannya (memahaminya).’’ (Qs. Al-An‘âm [6]: 32).
Bagi orang yang kaya raya, dunia bisa saja menjadi istana. Bagi si miskin,
kemiskinannya bisa saja menjadikannya sebagai alat demonstrasi menentang
tawakkal dan tidak sabar atas bagian yang diberikan Allah kepadanya. Lebih dari
itu, kemiskinannya menjadikan dia lalai akan kematian. Bukankah kematian itu
tidak pandang bulu. Ia akan datang kepada seorang presiden, tanpa minta izin. Ia
juga bisa datang kepada pedagang asongan di stasiun kereta api tanpa belas
kasihan. Ia akan menjelang orangtua yang sudah jompo dan juga kepada anak kecil,
bahkan ketika masih menjadi janin di perut ibunya. Kematian itu ibarat buah
kelapa. Ia bisa jatuh kapan saja. Sebelum jadi buah, ia bisa jatuh karena
tersenggol lebah ketika menghisap madunya. Ketika muda, ia juga bisa jatuh. Dan
ia bisa jatuh ketika sudah tua dan berminyak. Kita semua akan dihampiri oleh
kematian. Allah SWT. telah memberikan warning agar kita tidak dilalaikan oleh
kemegahan dunia. ‘‘Bermegah-megahan telah melalaikan
kalian, sampai kalian masuk ke dalam kubur. Jangan begitu, kelak kalian akan
mengetahui (akibat perbuatan kalian itu), dan janganlah begitu, kelak kalian
akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kalian mengetahui dengan pengetahuan
yang yakin, niscaya kalian benar-benar akan melihat neraka Jahannam. Dan
sesungguhnya kalin benar-benar akan melihatnya dengan ‘aynul yaqinE kemudian
kalian pasti akan ditanya pada hari itu tentang kenikmatan (yang kalian
megah-megahkan di dunia itu).’’ (Qs. Al-Takâtsur [102]: 1-8).
Maka, kewajiban setiap individu Mukmin di duni ini adalah beramal saleh.
Hari-hari yang telah lalu harus ia jadikan sebagai pijakan dan barometer untuk
melangkah ke arah yang lebih baik. Ia harus melakukan muhasabah diri. Sayyidina
‘Umar ra. memberikan teladan yang cukup baik dalam bermuhasabah, sehingga
adagiumnya sangat terkenal, ‘‘HâsibE’anfusakum qabla ’an tuhâsabE wa
zinEa‘mâlakum qabla ’an tûzana ‘alaykum, wa tajahhazEli-l-‘ardhi ‘alEAllâh,
‘Yauma idzin tu‘ridhuna lEyakhfEminkum khâfiyatun.’’ (Hisablah diri kalian,
sebelum kalian dihisab Edi hari kiamat Edan timbanglah amal kalian sebelum
ditimbang, dan bersiaplah untuk menghadap Allah: ‘‘Pada hari itu kalian
dihadapkan (kepada Tuhanmu), tiada sesuatu pun dari keadaan kalian yang
tersembunyi (bagi Allah) (Qs. Al-Hâqqah [69]: 18). Semoga amal kita semakin hari
semakin baik, dan menjadikan kita benar-benar siap untuk menyambut kematian.
Wallahu a‘lamu bi al-shawab. []
Cairo, May 16, 2006.
Qosim Nursheha Dzulhadi.Read more...
Satu hal yang harus senantiasa diingat oleh setiap diri adalah ‘kematianE
Allah telah menjadikan kematian sebagai satu perkara yang harus melekat dalam
hati seorang Mukmin. Hakikat hidup adalah menanti kematian, bukan
menghindarkannya. Allah SWT. telah menjelaskan fakta ini lewat firman-Nya,
‘‘Setiap jiwa merasakan kematian, kemudian kepada Kami kalian akan
dikembalikan.’’ (Qs. Al-‘Ankabût [29]: 57).
Kematian itu ibarat gelas, setiap orang pasti akan merasakannya. Atau,
kematian itu laksana pintu, setiap orang akan memasukinya. Kematian adalah
syarat bertemu dengan Allah. Oleh sebab itu, seorang Muslim sejati tidak pernah
menganggap kematian sebagai kematian. Ia hanya transit: dari dunia menuju
akhirat. Dari kematian sementara menuju kehidupan hakiki: kampung akhirat. Ia
hanya merupakan titik akhir dari perjalanan seorang manusia di dunia.
Bagi orang-orang kafir, kematian ‘tidak pernah adaE karena menurut mereka
dunia ini lah segalanya. Mereka bahkan membantah adanya hari ‘kebangkitanE
Allah menjelaskan sikap ingkar mereka ini, ‘‘Dan tentu mereka akan mengatakan:
‘‘Hidup hanyalah kehidupan kita di dunia saja, dan sekali-kali kita tidak akan
dibangkitkan.’’ (Qs. Al-An‘âm [6]: 29). Lebih tegas Allah menjelaskan, ‘‘Dan
seandainya kalian melihat ketika mereka dihadapkan kepada Tuhannya (tentu kalian
melihat peristiwa yang mengharukan). Berfirman Allah: ‘‘Bukankah kebangkitan ini
benar?’’ Mereka menjawab: ‘‘Sungguh benar, demi Tuhan kami.’’ Allah berfirman:
‘‘Karena itu rasakanlah azab ini, disebabkan kalian mengingkari (nya).’’ (Qs.
Al-An‘âm [6]: 31). Tapi tidak bagi seorang Mukmin. Mereka benar-benar yakin
dengan adanya kebangkitan. Dan kebangkitan itu pasti terjadi dan diawali dengan
kematian. Orang yang mengingkari kebangkitan adalah orang-orang yang sangat
merugi, karena benar adanya. ‘‘Sungguh telah
merugilah orang-orang yang mendustakan pertemuan mereka dengan Tuhan; sehingga
apabila kiamat datang kepada mereka dengan tiba-tiba, mereka berkata: ‘‘Alangkah
besarnya penyesalan kami, terhadap kelalaian kami tentang kiamat itu!’’ sambil
mereka memikul dosa-dosa di atas pungung mereka. Ingatlah, amatlah buruk apa
yang mereka pikul itu.’’ (Qs. Al-An‘âm [6]: 31).
Maut adalah pemutus segalanya. Ia disebut oleh Kanjeng Nabi SAW. sebagai hâdim
al-ladzdzât, pemutus segala bentuk kenikmatan. Orang yang mati tidak lagi bisa
merasakan nikmatnya teh manis di pagi hari, atau kopi di malam hari. Ia juga
tidak bisa merasakan bagaimana nikmatnya berkumpul dengan istri dan anak-anak;
dengan orangtua dan tetangga. Atau, dia tidak bisa lagi menikmati keindahan dan
panorama alam yang telah didesain oleh Allah sedemikian indahnya. Semuanya putus
oleh ‘‘maut’’.
Orang yang berakal adalah yang mengerti kewajibannya di dunia ini. Ia tidak
akan lama. Hanya ‘Mampir NgombeE kata orang Jawa. Ia laksana musafir yang
berteduh di sebuah pohon yang rindang bernama dunia, setelah itu ia akan
meninggalkannya. Tempatnya yang hakiki bukan di sini, tapi di ‘kampung akhiratE
Kewajiban orang yang berakal, kata Ibnu al-Jauzy, adalah yang mempersiapkan
diri untuk kematiannya. ‘‘Al-Wâjib ‘alEal-‘âqil akdzu al-‘uddah lirahû‰ihE
’’ujar beliau. Karena, menurut beliau, ia tidak tahu kapan kematian dari
Tuhannya datang, dan tidak tahu kapan akan dipanggil? Saya melihat kebanyakan
manusia telah tertipu oleh masa muda. Mereka lupa bahwa mereka akan meninggalkan
teman-temannya dan dilalaikan oleh panjang angan-angan (thûl al-’amal). Mungkin
seorang alim yang mukhlis akan berkata kepada dirinya: ‘‘Sibukkan dirimu dengan
menuntut ilmu sekarang, kemudian beramallah dengan ilmu itu esok hari. Lalu ia
berleha-leha dengan alasan ‘sedang rehatE dan mengakhirkan persiapan untuk
taubat. Dia tidak menghindarkan perbuatan gibah atau mendengarnya. Barangsiapa
yang melakukan subhat (keraguan) dan berharap dapat menghapusnya dengan
perbuatan waraE dia telah lupa bahwa maut datang dengan tiba-tiba. Orang yang
berakal adalah yang memberikan hak setiap kesempatan
yang ada. Jika maut menemuinya dengan tiba-tiba, ia telah bersiap-siap dan jika
dia telah memperolah apa yang diangan-angankanya, maka bertambah kebaikannya,’’
demikian catat ‘Allâmah Ibnu al-Jauzyi dalam Shayd al-Khâthir-nya.
Bisa jadi kita termasuk orang yang berakal, sebagaimana yang digambarkan oleh
Ibnu al-Jauzy. Tetapi, bisa saja sebaliknya: kita adalah orang yang bodoh, tidak
tahu kewajiban untuk menyambut maut ketika datang menjelang. Dunia hanyalah
‘sendau gurauE tidak lebih. Tapi, sendau gurau ini ternyata banyak membuat kita
‘puyengEdan tidak berdaya untuk melepaskan diri dari cengkraman dan jeratnya.
Padahal, Allah telah menjelaskan dengan gamblang, ‘‘Dan tiadalah kehidupan dunia
ini, selain dari main-main dan sendau gurau belaka. Dan sungguh kampung akhirat
itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kalian
memikirkannya (memahaminya).’’ (Qs. Al-An‘âm [6]: 32).
Bagi orang yang kaya raya, dunia bisa saja menjadi istana. Bagi si miskin,
kemiskinannya bisa saja menjadikannya sebagai alat demonstrasi menentang
tawakkal dan tidak sabar atas bagian yang diberikan Allah kepadanya. Lebih dari
itu, kemiskinannya menjadikan dia lalai akan kematian. Bukankah kematian itu
tidak pandang bulu. Ia akan datang kepada seorang presiden, tanpa minta izin. Ia
juga bisa datang kepada pedagang asongan di stasiun kereta api tanpa belas
kasihan. Ia akan menjelang orangtua yang sudah jompo dan juga kepada anak kecil,
bahkan ketika masih menjadi janin di perut ibunya. Kematian itu ibarat buah
kelapa. Ia bisa jatuh kapan saja. Sebelum jadi buah, ia bisa jatuh karena
tersenggol lebah ketika menghisap madunya. Ketika muda, ia juga bisa jatuh. Dan
ia bisa jatuh ketika sudah tua dan berminyak. Kita semua akan dihampiri oleh
kematian. Allah SWT. telah memberikan warning agar kita tidak dilalaikan oleh
kemegahan dunia. ‘‘Bermegah-megahan telah melalaikan
kalian, sampai kalian masuk ke dalam kubur. Jangan begitu, kelak kalian akan
mengetahui (akibat perbuatan kalian itu), dan janganlah begitu, kelak kalian
akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kalian mengetahui dengan pengetahuan
yang yakin, niscaya kalian benar-benar akan melihat neraka Jahannam. Dan
sesungguhnya kalin benar-benar akan melihatnya dengan ‘aynul yaqinE kemudian
kalian pasti akan ditanya pada hari itu tentang kenikmatan (yang kalian
megah-megahkan di dunia itu).’’ (Qs. Al-Takâtsur [102]: 1-8).
Maka, kewajiban setiap individu Mukmin di duni ini adalah beramal saleh.
Hari-hari yang telah lalu harus ia jadikan sebagai pijakan dan barometer untuk
melangkah ke arah yang lebih baik. Ia harus melakukan muhasabah diri. Sayyidina
‘Umar ra. memberikan teladan yang cukup baik dalam bermuhasabah, sehingga
adagiumnya sangat terkenal, ‘‘HâsibE’anfusakum qabla ’an tuhâsabE wa
zinEa‘mâlakum qabla ’an tûzana ‘alaykum, wa tajahhazEli-l-‘ardhi ‘alEAllâh,
‘Yauma idzin tu‘ridhuna lEyakhfEminkum khâfiyatun.’’ (Hisablah diri kalian,
sebelum kalian dihisab Edi hari kiamat Edan timbanglah amal kalian sebelum
ditimbang, dan bersiaplah untuk menghadap Allah: ‘‘Pada hari itu kalian
dihadapkan (kepada Tuhanmu), tiada sesuatu pun dari keadaan kalian yang
tersembunyi (bagi Allah) (Qs. Al-Hâqqah [69]: 18). Semoga amal kita semakin hari
semakin baik, dan menjadikan kita benar-benar siap untuk menyambut kematian.
Wallahu a‘lamu bi al-shawab. []
Cairo, May 16, 2006.
Qosim Nursheha Dzulhadi.Read more...
<< Home